Sunday, December 12, 2010


Unexpected Job

0
Dulu waktu saya masih kecil, ibu saya berharap saya jadi Dokter. Yah... sama kaya orang tua pada umumnya, berasa bangga banget kalo anaknya jadi Dokter. katanya, kalo jadi dokter tuh pahalanya gede, lewat tangan seorang Dokter, Tuhan menyelamatkan hamba-Nya, mulai dari anak-anak yang rewel karna ingusan mulu (*jadi inget Jendral saya yang bilang saya anak ingusan) sampai kakek-kakek yang udah jadiin rumah sakit sebagai rumah pertamanya gara-gara kolesterol-lah, jantung lah, stroke lah... Bagi ibu saya, Dokter itu kayak orang yang paling berjasa.
Buat saya ga masalah dengan keinginan ibu saya ini. Karna saya sebenarnya juga pengen jadi Dokter.


Tapi nasib berkata lain. Saya malah kuliah di jurusan ekonomi. Yang kata orang-orang itu jurusannya tukang tipu. Jurusannya para kapitalis atau nasionalis atau neolib.
Saat saya memutuskan untuk mengambil jurusan ini, saya berharap setidaknya saya bisa ketemu Sri Mulyani. Sebuah pelarian yang sangat sederhana. Semangat saya adalah, saya satu almamater sama Sri Mulyani yang saya idolakan dari saya masih SD.. (ya, saya memang aneh.. Disaat anak-anak masih mengidolakan sailormoon, ksatria baja hitam, power rangers, ninja hattori, saya sukanya Sri Mulyani.. Tapi saya tidak se-freak itu, saya suka Doraemon, bahkan sampe sekarang).


3,5 tahun di kampus itu, mengantarkan saya pada satu hari dimana katanya hari persidangan. Bedanya sama persidangan umumnya, saya tidak disidang di meja hijau, tapi meja coklat dengan bantuan laptop dan infocus. Entah kenapa, saat itu saya membahas "Pengaruh Struktur Pendapatan Bank terhadap Risikonya: Analisis Empiris terhadap Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2004-2007.

Pertanyaan penutup dari penguji waktu itu adalah, "Apakah Anda ingin kerja di perbankan". Dengan sangat cepat saya jawab," Tidak Pak".


Saya memang tidak bercita-cita kerja di bank. Saya maunya kerja di sebuah perusahaan otomotif di Sunter. Bukan karna saya suka otomatif, tapi menurut saya itu perusahaan keren aja..


Lagi-lagi, saya sebut ini takdir. Sekarang saya seorang "banker". Tepatnya 1,5 tahun yang lalu sebuah bank BUMN menerima saya. Karna bank ini cukup terkenal, Ibu saya sangat senang dan setuju saya menerima pekerjaan itu... Yah, memang sangat sederhana sekali alasan ibu saya menyetujuinya.

Satu bulan berselang saya sebagai seorang banker, tawaranpun dateng dari perusahaan idaman saya. Tapi, lagi-lagi takdir kata ibu saya, saya harus berpuas diri sebagai banker, dan mengabaikan tawaran itu. Katanya ridho nya ibu itu ridhonya Tuhan. Sejak saat itu sampai sekarang saya seorang banker.


Pertanyaannya, bahagia kah saya dengan pekerjaan ini? Mungkin belum. Ya, saya tidak mau menjawab tidak, karna saya berharap selama saya disini, saya bahagia menjalani profesi ini. Saya juga tidak bisa menjawab iya, karna kata nenek boong itu dosa.

Sebuah pekerjaan yang membuat saya harus lebih belajar arti kesabaran (lebay ya?? semua pekerjaan harus sabar kali..). Dan sebuah pekerjaan yang menuntut kemampuan "merangkai kata", kalo bahasa lebih kentara nya, kata bos saya, "boong dikit ga papa lah".. Tapi dikit-dikit lama-lama jadi bukit kan ya??

Entahlah.. bagaimanapun, saya harus bersyukur dan memang saya bersyukur dengan profesi ini. Sampai nanti (lagi-lagi) takdir mengantarkan saya ke profesi lainnya....

0 comments:

Post a Comment